CitraMediaSosial Budaya

Hari Ibu: Dari Mimbar Sejarah ke Ruang Hidup Perempuan Indonesia

Jakarta, CITRAMEDIA – Hari Ibu di Indonesia bukan sekadar perayaan bunga, kartu ucapan, atau unggahan media sosial yang manis tapi dangkal. Ia lahir dari kesadaran politik, sosial, dan kultural, dari rahim sejarah yang bergolak, bukan dari dapur romantisme semata.
Tanggal 22 Desember 1928, di Yogyakarta, ratusan perempuan dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama. Mereka datang bukan untuk merayakan kodrat, melainkan memperjuangkan martabat. Di sana dibahas soal pendidikan perempuan, perkawinan paksa, poligami, kesehatan ibu dan anak, hingga peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan. Ini terjadi hanya dua bulan setelah Sumpah Pemuda, sebuah penanda bahwa perempuan bukan penonton sejarah, melainkan penulisnya.
Hari Ibu ditetapkan bukan untuk mengurung perempuan dalam peran domestik, tapi untuk mengingat keberanian mereka keluar dari batas yang dipaksakan zaman.

Ibu sebagai Kesadaran, Bukan Sekadar Status

Dalam sejarah Indonesia, “ibu” adalah simbol kesadaran hidup.
Ia bisa melahirkan anak, tapi juga melahirkan gagasan.
Ia merawat keluarga, tapi juga merawat bangsa.
RA Kartini menulis kegelisahan zamannya dengan pena yang menolak tunduk.
Martha Christina Tiahahu mengangkat senjata di usia belia.
Perempuan-perempuan kongres 1928 mengangkat suara, ketika suara perempuan dianggap aib.
Hari Ibu sejatinya adalah peringatan tentang keberanian berpikir dan melawan ketidakadilan, bukan sekadar pujian atas pengorbanan yang dipaksakan.

Distorsi Makna: Ketika Sejarah Dipersempit

Ironisnya, makna Hari Ibu hari ini sering menyempit.
Perempuan dipuji karena “setia melayani”, bukan karena berani menentukan pilihan.
Dielu-elukan karena “kuat menderita”, bukan karena berhak bahagia dan merdeka.
Di tengah kekinian:
Perempuan masih dibebani standar ganda moral dan sosial.
Kekerasan berbasis gender masih tinggi.
Hak atas tubuh, pendidikan, dan ruang aman masih terus diperdebatkan.
Perempuan di ruang publik kerap dipertanyakan kapasitasnya, bukan idenya.
Ini bukan sekadar masalah budaya, tapi pengkhianatan terhadap sejarah Hari Ibu itu sendiri.

Nilai-Nilai yang Seharusnya Kita Rayakan

Jika Hari Ibu hendak dimaknai secara jujur, maka nilai-nilai inilah yang seharusnya menjadi dasarnya:

Pertama, kesetaraan martabat.
Perempuan bukan pelengkap laki-laki, melainkan manusia seutuhnya, dengan hak, suara, dan pilihan hidup.

Kedua, kebebasan berpikir dan menentukan nasib.
Sejarah Hari Ibu lahir dari perempuan yang berani bertanya dan menolak diwarisi ketidakadilan.

Ketiga, keadilan sosial dan perlindungan.
Menghormati perempuan berarti melindungi mereka dari kekerasan, eksploitasi, dan pemiskinan struktural.

Keempat, penghargaan pada kerja yang tak terlihat.
Kerja domestik, kerja emosional, kerja pengasuhan, semuanya adalah fondasi peradaban, bukan kewajiban kodrati tanpa nilai.

Hari Ibu sebagai Cermin Zaman

Hari Ibu seharusnya menjadi cermin:
Apakah negara hadir melindungi perempuan?
Apakah masyarakat memberi ruang aman dan setara?
Apakah kita masih memuja pengorbanan perempuan, tapi abai pada hak-haknya?
Jika jawabannya belum, maka Hari Ibu bukanlah perayaan, melainkan peringatan keras.
Peringatan bahwa kemerdekaan bangsa tidak akan utuh jika setengah warganya masih harus berjuang untuk diakui sebagai manusia yang bebas dan bermartabat.

Merayakan Perempuan, Menjaga Sejarah

Hari Ibu bukan milik ibu biologis semata.
Ia milik setiap perempuan yang berani hidup dengan kesadaran, melawan ketidakadilan, dan menjaga nilai kemanusiaan, di rumah, di jalan, di ladang, di ruang digital, hingga di ruang kebijakan.
Merayakan Hari Ibu berarti setia pada sejarahnya, bukan memutihkannya.
Dan menghormati perempuan bukan lewat seremoni tahunan,
melainkan lewat keberpihakan yang konsisten, hari ini, dan setiap hari.

Exit mobile version