Menelisik Penyebab Longsor dan Banjir Bandang di Sumatera — dan Bayangan Legenda Danau Toba
Jakarta, CITRAMEDIA – Air tidak datang sendirian. Ia membawa sejarah: lapisan-lapisan tanah, bekas jejak penebangan, parit-parit tambang, jalur jalan yang menoreh lereng, dan—yang tak kalah berat—kepahitan sosial yang menunggu diparut oleh arus.
Akhir-akhir ini, ketika banjir bandang dan longsor menyapu bagian-bagian Sumatera, wacana segera berkumpul: apakah ini murni peristiwa cuaca ekstrem, atau buah dari perbuatan manusia yang menyingkap kulit hutan hingga akar tak lagi berpegangan? Jawabannya, seperti hampir semua masalah besar, bukan hitam-putih. Ini mozaik sebab yang saling bersisian: kondisi geologi dan iklim yang keras, serta pilihan ekonomi dan tata kelola lahan yang rapuh.
- Curah hujan ekstrem dan perubahan iklim: pencetus langsung
Periode hujan lebat yang berlangsung berhari-hari adalah pemicu mekanis paling jelas dari longsor dan banjir bandang. Ketika tanah jenuh, kohesi antar butir tanah menurun — lereng yang semula stabil berubah jadi rentan runtuh. Ilmuwan dan badan meteorologi menyebut intensifikasi hujan ekstrim ini semakin mungkin terjadi seiring perubahan iklim global, yang mengubah pola monsun dan memperbesar peluang badai intens. Kondisi itulah yang sering menjadi pemantik pertama runtuhnya lereng.
- Deforestasi dan degradasi daerah hulu: memperbesar skala kerusakan
Di belakang hujan yang deras seringkali ada hulu yang kehilangan kemampuannya menyerap air. Sumatra mengalami kehilangan tutupan hutan yang signifikan selama beberapa dekade—angka-angka luas lahan yang dibuka untuk perkebunan, pertambangan, dan penebangan menggambarkan bagaimana fungsi hidrologis alam terus terkikis. Ketika pohon dan lapisan akar hilang, air hujan yang semula diserap dan ditahan kini mengalir deras ke lembah, mempercepat aliran sungai dan meningkatkan energi banjir bandang serta jumlah sedimen yang terbawa, yang pada gilirannya memperparah longsor di hilir. Data dan laporan investigasi terkini serta observasi lapangan menunjukkan hubungan kuat antara degradasi hutan dan besaran baik banjir maupun longsor yang terjadi.
- Pekerjaan manusia di lereng: tambang, jalan, dan kebun monokultur
Aktivitas ekstraktif—pertambangan, pembukaan perkebunan sawit, pembangunan jalan dan infrastruktur—mengubah topografi, memotong kontur alami, dan sering meninggalkan timbunan pembuangan yang tidak stabil. Pembukaan lahan terutama jika dilakukan tanpa analisis geoteknik dan tanpa mengembalikan tutupan vegetasi, meningkatkan peluang pergerakan massa tanah. Lalu lintas berat di jalan yang baru dipotong ke lereng dan drainase yang buruk menambah tekanan pada tanah. Laporan lapangan dan kajian lingkungan menunjukkan bahwa izin-izin konversi lahan seringkali menumpuk di daerah-daerah rentan.
- Tata kelola, pemetaan risiko, dan akses bantuan: faktor sosial-teknis
Distribusi populasi di daerah lereng, perencanaan tata ruang yang belum sepenuhnya responsif terhadap risiko geohazard, serta lemahnya penegakan aturan lingkungan menjadi faktor sosial yang memperbesar dampak bencana. Selain itu, keterbatasan akses (jalan putus, sinyal terhenti) memperlambat respons darurat. Ketika masyarakat dan infrastruktur berada di tempat yang rawan, konsekuensinya menjadi kehilangan jiwa dan kerusakan harta yang besar. Hal ini menuntut perbaikan tata kelola lahan, peta risiko yang akurat, dan adaptasi kebijakan berbasis bukti.
- Mekanika longsor: dari saturasi ke runtuhan
Secara teknis, longsor terjadi ketika gaya yang mendorong lereng turun (gaya gravitasi pada massa tanah) melebihi gaya yang menahannya (kohesi tanah + gaya gesek internal). Hujan deras meningkatkan beban air di pori tanah, menurunkan kohesi dan menaikkan tekanan pori, sehingga memicu pergerakan. Kombinasi permukaan yang terpotong, lapisan tanah lepas, dan beban tambahan (bangunan, pohon yang ditebang, timbunan tanah) mempercepat proses ini. Kajian geoteknik dan hidrologi menjadi penting untuk menentukan titik-titik kritis yang rawan.
Membandingkan dengan Danau Toba: legenda dan realitas geologis
Jika kita menoleh ke masa jauh—kisah rakyat tentang Danau Toba yang berubah dari legenda menjadi metafora—ada dua cara membaca cerita itu. Versi rakyat menceritakan bencana kosmik sebagai hukuman moral, sebuah mitos yang mengajarkan kebaikan dan kehati-hatian. Dalam bacaan ilmiah, Danau Toba terbentuk oleh letusan supervulkan besar sekitar 70–75 ribu tahun lalu yang menciptakan kaldera raksasa; peristiwa itu adalah salah satu letusan paling dahsyat di bumi dan mengubah lanskap secara permanen. Perbedaan antara keduanya memberi pelajaran penting: alam bisa bertindak sebagai aktor tunggal (letusan purba yang membentuk danau), tetapi di masa sekarang skenario kehancuran jarang lagi hanya soal satu faktor—kita hidup dalam sistem kompleks di mana interaksi antara iklim, geologi, dan aktivitas manusia menentukan hasilnya.
Kesimpulan: multi-sebab membutuhkan multi-solusi
Longsor dan banjir bandang di Sumatera — seperti banyak bencana modern — adalah produk interaksi antara pemicu alam (curah hujan ekstrem, kondisi geologi) dan kondisi yang diperburuk oleh tindakan manusia (deforestasi, pengelolaan tanah yang buruk, aktivitas ekstraktif). Menyederhanakan penyebabnya menjadi “alam marah” atau “manusia bersalah” tidak membantu kebijakan. Yang perlu adalah pendekatan terpadu: konservasi dan restorasi hutan hulu, penegakan aturan terhadap praktik ilegal, perencanaan ruang berbasis risiko, perbaikan drainase dan infrastruktur, serta pendidikan publik tentang bahaya dan adaptasi.
Akhirnya, seperti legenda Danau Toba mengingatkan kita pada kekuatan alam yang agung dan mendidik, pengalaman modern menuntut kebijakan yang tanggap dan masyarakat yang berpikir panjang. Alam memberi peringatan—kita yang harus menjawabnya dengan kebijakan, ilmu, dan tanggung jawab kolektif. Tanpa itu, air akan terus datang—dan setiap kali ia datang, ia menuntut hutang yang semakin besar dari kita semua.
