Edukasi

Mengapa Bencana Sering Terjadi di Indonesia?

Kajian analitik multi dimensi

Jakarta, CITRAMEDIA – Abstrak, Indonesia adalah negeri yang hidup di antara pilar-pilar alam: lempeng tektonik, samudra yang memanaskan badai, dan hutan yang dahulu menjadi penyangga. Tetapi selain gelombang alamiah itu ada pula gelombang manusiawi, urbanisasi cepat, kemiskinan struktural, dan keputusan kebijakan yang sering meminggirkan ekosistem. Artikel ini memadukan data resmi, temuan ilmiah, dan analisis sosial-ekonomi untuk menjawab: mengapa frekuensi dan dampak bencana di Indonesia tampak tinggi, dan apa saja jalur penyebabnya?

I. Gambaran singkat dan angka pendukung

Catatan resmi menunjukkan lonjakan kejadian bencana dalam beberapa tahun terakhir: BNPB melaporkan sekitar 5.400 kejadian bencana pada 2023, dan publikasi data 2024 mencatat ribuan kejadian hidrometeorologi yang dominan.
(Angka-angka ini mencerminkan kejadian yang dilaporkan dari banjir lokal sampai tanah longsor dan memberi gambaran beban nyata yang ditanggung masyarakat dan infrastruktur.)

II. Penyebab primer alamiah: letak geologi dan iklim

A. Panggung tektonik dan gunung berapi

Indonesia duduk di ‘Cincin Api Pasifik’, bertindih dengan beberapa lempeng tektonik utama sehingga gempa besar dan letusan gunung berapi adalah bagian dari realitas geografisnya. Catatan gempa global menunjukkan konsentrasi gempa signifikan di wilayah Indonesia; program pengamatan gunung berapi internasional mencatat puluhan gunung aktif dan riwayat erupsi yang panjang.

B. Perubahan iklim dan intensifikasi hujan ekstrem

Laut yang menghangat dan atmosfer yang menahan lebih banyak uap air membuat peristiwa hujan ekstrem menjadi lebih intens. Analisis atribusi cuaca terbaru (World Weather Attribution dan liputan lembaga berita) mengaitkan pemanasan laut dengan penguatan hujan ekstrem dan badai yang memperparah banjir dan longsor di Asia Tenggara. Artinya, meski frekuensi siklon besar mungkin tidak selalu naik, intensitas hujan per peristiwa cenderung meningkat.

III. Faktor manusia yang memperbesar risiko (vulnerability amplification)

Alam memberi ancaman; manusia menentukan seberapa fatal ancaman itu.

A. Perubahan tutupan lahan, deforestasi dan degradasi

Hilangnya penutup hutan mengurangi kapasitas lanskap menahan hujan, mempercepat aliran permukaan, dan meningkatkan risiko longsor serta banjir bandang. Data kehilangan tutupan pohon dan deforestasi di Indonesia menunjukkan jutaan hektar alami yang terdegradasi dalam dekade terakhir menjadi faktor penting yang ‘menguatkan’ dampak hujan ekstrem.

B. Urbanisasi cepat dan permukiman di kawasan rawan

Kota-kota besar dan area pinggiran berkembang pesat; permukiman informal muncul di bantaran sungai, dataran banjir, dan lereng curam. Ketika infrastruktur drainase tidak mengikuti laju pembangunan, hujan intens langsung menjadi banjir yang melumpuhkan.

C. Ketimpangan sosial-ekonomi dan kapasitas adaptasi

Kemiskinan, ketidaksetaraan, dan keterbatasan akses layanan mengurangi kemampuan rumah tangga dan komunitas untuk siap dan pulih dari guncangan. Laporan ekonomi terbaru menempatkan sebagian warga dalam kerentanan ekonomi yang nyata, sehingga ketika bencana datang, dampak sosialnya jauh lebih berat.

IV. Bencana sosial: dari konflik hingga runtuhnya layanan publik

Istilah “bencana” tak hanya soal gempa atau banjir; ada juga bencana sosial seperti kerusuhan, konflik sumber daya, krisis kesehatan, dan runtuhnya layanan publik. Faktor pendorongnya meliputi:

Tekanan ekonomi (pengangguran, kemiskinan), yang dapat menaikkan tingkat kejahatan dan konflik. Studi-studi empiris di konteks Indonesia menunjukkan hubungan antara kemiskinan/ketimpangan dan meningkatnya tingkat kriminalitas.

Kegagalan tata kelola (korupsi, perencanaan buruk), yang mengurangi efektivitas layanan publik dan respons darurat.

Gangguan sosial akibat bencana alam itu sendiri: pengungsian massal, konflik distribusi bantuan, dan tekanan psikososial.

V. Interaksi penyebab: disebut “bencana terpadu”

Bencana lebih sering bersifat sindemik: satu faktor memicu dan memperparah yang lain. Contoh sederhana:

Hutan ditebang dan daerah resapan berkurang ditambah hujan lebat (diperkuat perubahan iklim) menyebabkan banjir dan longsor membuat Infrastruktur rusak menyebabkan layanan darurat kewalahan menimbulkan dampak sosial (kemiskinan mendalam, konflik lokal).
Analisis sistem seperti ini menuntut pendekatan lintas-sektor: geologi, klimatologi, perencanaan ruang, ekonomi, dan sosial.

VI. Analisis kebijakan dan kapasitas mitigasi

Indonesia memiliki lembaga nasional (BNPB), kebijakan mitigasi, dan kerangka kerja internasional (Sendai Framework) yang menjadi acuan. Namun implementasi di daerah terhambat oleh kapasitas fiskal, koordinasi antarlembaga, dan prioritas pembangunan yang sering menempatkan ekonomi jangka pendek di atas ketahanan jangka panjang. (Laporan UNDRR dan analisis kebijakan menekankan perlunya percepatan implementasi Sendai dan investasi pada DRR).

VII. Rangkuman data-kunci (singkat)

Kejadian bencana: ribuan per tahun (BNPB: ~5.400 kejadian, 2023; 2024 juga mencatat ribuan kejadian hidrometeorologi).

Tektonik & vulkanik: wilayah dengan konsentrasi gempa dan puluhan gunung berapi aktif, penyebab bencana geologi primer.

Iklim & hujan ekstrem: bukti atribusi menunjukkan pemanasan laut memperkuat hujan ekstrem yang memicu banjir/longsor.

Deforestasi: jutaan hektar hilang/terdegradasi dalam beberapa tahun terakhir, memperbesar risiko hidrometeorologi.

Kerentanan sosial: proporsi penduduk yang masih rentan secara ekonomi mempengaruhi kapasitas adaptasi dan pemulihan.

VIII. Rekomendasi tindakan (dari analisis ke aksi)

Berikut garis besar kebijakan dan intervensi berbasis bukti yang bisa mengurangi frekuensi dampak parah bencana:

  1. Perlindungan ekosistem dan restorasi alam, reforestasi, perlindungan bantalan pesisir (mangrove), dan pengendalian alih guna lahan.
  2. Perencanaan ruang yang ketat dan tata guna lahan pro-ketahanan, larangan pemukiman di zona merah, pengembangan perumahan terjangkau di lokasi aman.
  3. Penguatan sistem peringatan dini dan infrastruktur hijau, kombinasi teknologi (BMKG, MAGMA) dan solusi alamiah untuk mengurangi luncuran air.
  4. Pengurangan kemiskinan dan penguatan jejaring sosial, program pengurangan kerentanan ekonomi (jaring pengaman sosial) mempercepat pemulihan.
  5. Transparansi, tata kelola, dan pendanaan DRR, peningkatan akuntabilitas proyek infrastruktur dan alokasi anggaran untuk mitigasi jangka panjang.
  6. Integrasi sains ke kebijakan, penggunaan data klimatologis, pemetaan risiko gempa/longsor, dan model proyeksi untuk perencanaan yang adaptif.
  7. Pendidikan masyarakat dan keterlibatan komunitas, kesiapsiagaan lokal, latihan evakuasi, dan peran serta masyarakat adat dalam manajemen lanskap.

IX. Penutup : catatan reflektif

Bencana di Indonesia bukan sekadar rentetan peristiwa alam; mereka adalah cermin dari interaksi rumit antara alam yang aktif dan pilihan manusia. Kita tinggal di negeri yang diberi kekuatan alam yang besar dan juga tanggung jawab besar untuk hidup berdampingan dengannya. Mengurangi frekuensi tragedi bukan hanya soal teknologi atau anggaran, melainkan soal merajut kembali hubungan antara masyarakat, kebijakan, dan lanskap sebuah simfoni kehati-hatian yang harus dimainkan bersama.


Referensi utama (pilihan)

Buku Data Bencana Indonesia 2023 & Buletin Data 2024 — BNPB.

Significant Earthquakes / USGS (ringkasan aktivitas gempa global, 2025).

Global Volcanism Program — daftar gunung berapi Indonesia.

Laporan atribusi dan liputan: World Weather Attribution / Reuters / AP — pemanasan laut memperkuat hujan ekstrem akhir 2025.

Global Forest Watch — data deforestasi dan kehilangan tutupan lahan Indonesia.

World Bank — data kemiskinan / garis rawan ekonomi Indonesia (fakta 2024/2025).

UNDRR / Sendai Framework progress reports (konteks kebijakan DRR global).


Exit mobile version