Scroll untuk baca artikel
VENEERKAYU
RHVAC Jakarta 2024
EdukasiSosial Budaya

Masalah Kependudukan, Kemiskinan, Stunting dan Perlunya Transformasi Kelembagaan

×

Masalah Kependudukan, Kemiskinan, Stunting dan Perlunya Transformasi Kelembagaan

Share this article
INACRAFT

Jakarta, CITRAMEDIA – Transformasi Kelembagaan tidak saja berarti mengubah dan atau mengganti struktur, personalia, down sizing, right sizing, tetapi bisa juga menambah dan atau menyesuaikan tugas fungsi serta tata hubungan kerja internal serta external suatu kelembagaan. Kelemahan yang sering terjadi adalah presiden atau pemerintahan baru mengalami kesulitan, kendala, hambatan dalam melaksanakan visi missi dan janji janji kampanye serta dalam upaya memecahkan dengan cepat berbagai issues yang dihadapi. Pemerintahan baru mengalami keterlambatan untuk bekerja untuk mengeksekusi berbagai program strategiknya.

Hal itu tidak lain oleh karena keterlambatan dalam melakukan transformasi kelembagaan yang memungkinkan program strategik dan issues yang harus dipecahkan bisa match dengan kelembagaan yang diberikan kewenangan melaksanakannya. Berbagai issues strategik yang akan dihadapi yang memerlukan transformasi kelembagaan adalah masalah pengelolaan Pengentasan Kemiskinan dan Stunting. Masalah kemiskinan memang selalu menjadi sexy dan dijadikan jargon politik disetiap pemilu. Sudah saatnya kemiskinan sebagai bagian dari pembangunan kependudukan atau population and social development yang pada ujungnya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, harus menjadi “main streaming policy” pembangunan nasional.

VENEERKAYU

Dalam beberapa dekade terakhir, data-data menunjukkan bahwa kemiskinan ini seolah jalan di tempat, jumlah penduduk miskin selalu berkisar diangka 25-35 juta. Pada tahun 2022 yang lalu jumlah penduduk miskin berjumlah 26 juta, dan bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Dan kalau dianalisis lebih jauh, maka kemampuan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan sekitar 600 ribu sampai dengan 1 juta per tahun. Artinya membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa mengentaskan penduduk miskin.
Masalah yang lain adalah ukuran yang dipakai sebagai kriteria penduduk miskin Indonesia memakai kriteria yang tidak manusiawi. Mestinya ukuran yang digunakan harus yang kompatible yang dipakai oleh Negara-negara di dunia yaitu pengeluaran per kapita perhari. Mengacu kepada World Bank mestinya Indonesia sudah memakai ukuran pengeluaran perkapita per hari US $2. Yang dipakai saat ini adalah sekitar 500 ribu rupiah atau US $0.3. Kalau ukuran US $ 1 ini dipakai maka jumlah penduduk miskin akan mencapai 90 jutaan, apalagi kalau US $2, maka angkanya membengkak menjadi di atas 120 juta. Ukuran yang digunakan, terkadang “dibuat” yang menguntungkan penguasa.

Ke depan mestinya ukuran yang kita pakai, ukuran yang jelas sehingga kita tahu berapa jumlah penduduk miskin yang harus kita entaskan. Tidak perlu takut jumlahnya besar, karena itulah inti dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang terjadi dan sudah pasti dalam upaya pengentasan kemiskinan ini adalah jumlah institusi yang menangani bertambah besar jumlahnya dan jumlah anggarannya juga bertambah besar. Namun hasilnya seperti dijelaskan di atas, seolah-olah jalan di tempat dan berada dalam “paradox of plenty dan paradox of popularity”. Masyarakat miskin hidup sengsara ditengan negara yang kaya raya dan masyarakat miskin tetap miskin walaupun issue kemiskinan itu sangat populer dan menjadi issue dan jargon politik setiap pemilu. Pada akhir pemerintahan ini, tidak akan mencapai targetnya dalam mengentaskan kemiskinan dan juga penurunan stunting yang merupakan bagian dari akibat dan dampak kemiskinan. Walaupun pemerintah mensiasati dengan istilah kemiskinan extreem dengan kriteria seharga “sesisir pisang”, yang jumlahnya berkisar 15 juta penduduk miskin mungkin tidak bisa tercapai, demikian juga penurunan stunting dari 24% menjadi 14%, dengan sisa waktu efektif yang ada di tahun 2024 ini, dapat diprediksi target itu tidak bisa dicapai.

Ke depan, kemiskinan dan masalah stunting harus ditangani dengan cara “out of the box”, bukan “business as usual” . Kemiskinan harus dijadikan sebagai super prioritas pembangunan, menjadi “main streaming policy” dan untuk mengefektifkan pelaksanaannya maka pengentasan kemiskinan harus dengan melakukan “Transformasi Kelembagaan” dengan membentuk “Kementerian” yang khusus diberikan tanggung jawab menanganinya, serta semua anggaran tidak boleh lagi disebar diberbagai institusi atau kementerian yang ada seperti selama ini. Hal ini untuk memastikan ada penanggung jawabnya dan tidak lagi tersebar tetapi terpusat pada satu menteri sebagai penanggung jawab.
Selain itu anggaran yang begitu besar menjadi lebih effektif, karena prinsip dari anggaran itu bukan saja “a matter of numbers but how to spent” . Sehingga magnitude dari upaya dan kegiatan pengentasan kemiskinan dan stunting akan lebih effektif, karena prinsip “focus demand sacrifices”, sehingga anggaran itu tidak bertebaran . Kalau disebar dan dipakai oleh banyak institusi dan kementerian, yang masing masing punya tugas fungsi yang spesifik. Jadi anggaran akan lebih terarah kalau diserahkan kepada satu kementerian saja.

Bilamana diserahkan kepada satu kementerian, maka jelas siapa penanggung jawabnya dan lebih mudah mengikuti perkembangan penanganan program dari waktu kewaktu dengan cara membuat sistem monitoring evaluasi/monev operasional yang bisa mengikuti progresnya secara berkala, baik bulanan, semesteran dan tahunan. Dengan demikian kegiatan pengentasan kemiskinan ini bisa dipantau perkembangan secara up to date dan day to day.

Masalah lain adalah tidak perlu membentuk institusi baru melainkan dengan memasukkan tugas fungsi penanganan kemiskinan dan stunting itu kedalam tugas fungsi kelembagaan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN, yang ditransformasi menjadi Kementerian. Mengapa BKKBN, tidak lain karena lembaga ini punya track record yang mumpuni dan mendapat berbagai penghargaan secara Internasional serta infrastruktur dan kekuatan SDM-nya yang tidak diragukan dan ada sampai di grassroots-pedesaan.

Oleh : Drs H Lalu Sudarmadi, MPIA

Penulis adalah Pengamat Sosial Kemasyarakatan dan Mantan Sestama BKKBN

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *