Catatan Kaki Seorang Relawan
Aceh Tamiang, CITRAMEDIA – BMKG tak henti-hentinya mengabarkan potensi hujan lebat, angin kencang, dan kondisi atmosfer yang tak stabil di ujung barat Sumatera. Perkiraan datang setiap jam, grafik diperbarui, dan analisis disampaikan dengan cermat. Namun sehebat apa pun teknologi, tak ada lembaga yang mampu memastikan satu hal: kapan bencana benar-benar terjadi.
Akhir November 2025, ketidakpastian itu pecah menjadi kenyataan. Hujan turun tanpa jeda, sungai-sungai meluap, tanah yang telah lama lelah akhirnya menyerah. Banjir bandang dan longsor meluluhlantakkan Aceh, Sumut, dan Sumbar dalam hitungan jam. Banyak jiwa hilang. Banyak keluarga hancur.

Sebagai relawan yang berada di lapangan sejak hari pertama, saya melihat dari dekat bagaimana alam menumpahkan murkanya. Namun ada hal lain yang tak kalah mencengangkan: gelombang komentar manusia.
Komentar yang Lebih Deras dari Hujan
Di tengah proses evakuasi, di sela-sela usaha kami mengangkat korban dari reruntuhan dan menyalurkan bantuan semampu yang bisa dijangkau kaki, tangan, dan perahu karet, media sosial justru berubah menjadi arena amarah massal. Tuduhan dilontarkan seperti peluru: saling menyalahkan pemerintah, relawan, aparat, bahkan korban itu sendiri.
Ada pejabat yang datang dengan niat tulus untuk membantu, tetapi tak sedikit pula yang hadir sekadar mencicipi panggung, memaksa kamera lebih dulu datang daripada logistik. Fenomena ini makin memperkeruh suasana dan membuka ruang bagi komentar-komentar pedas yang dengan mudah dilemparkan dari balik layar ponsel.

Di ruang digital, masyarakat tampak begitu vokal. Namun ketika penggalangan bantuan dibuka, ketika rekening donasi disebarkan, ketika relawan meminta dukungan logistik dan obat-obatan, tiba-tiba ruang itu menjadi sunyi.
Ramai saat mencerca, diam saat ditagih empati.
Ketidaktahuan yang Menjadi Amarah
Banyak pihak marah karena distribusi bantuan dinilai lamban dan tidak merata. Padahal, mereka yang marah itu tidak melihat bagaimana akses jalan terputus, jembatan runtuh, sinyal hilang, dan cuaca ekstrem membuat pergerakan menjadi hampir mustahil. Ada wilayah yang hanya bisa ditembus melalui jalur darat yang tertutup longsor, atau jalur laut yang tak bersahabat.

Relawan dari berbagai organisasi, BPBD, Basarnas, TNI, Polri, tenaga medis dan masyarakat setempat telah berjuang tanpa henti. Kami bekerja dalam kondisi fisik yang melemah, peralatan yang terbatas, dan risiko yang selalu mengintai. Kami tak meminta dipuji, tapi sangat terasa bahwa publik sering kali gagal memahami kompleksitas medan dan keterbatasan teknis yang kami hadapi.

Dalam keadaan seperti itu, amarah publik yang membludak justru menambah beban moral yang tak kalah berat dari lumpur yang menutup permukaan desa.
Bencana Terbesar: Kerusakan di Hati Bangsa
Melihat semua ini dari lapangan, saya sampai pada satu kesimpulan yang pahit:
Bencana terbesar bukan terjadi di Sumatera—bencana terbesar terjadi di hati bangsa ini.
Hati yang cepat marah, tapi lambat membantu.
Hati yang mudah menghakimi, namun kikir dalam empati.
Hati yang dipenuhi prasangka, kebencian, dan kecurigaan, seolah musibah ini adalah bahan bakar untuk mempertebal sekat politik yang sudah terlalu lama membelah kita.

Ketika bangsa ini lebih sibuk berdebat daripada bergandeng tangan, ketika komentar lebih banyak daripada aksi, maka bencana moral itulah yang sebenarnya sedang melanda. Dan tidak ada tim SAR yang bisa menyelamatkan bangsa dari kerusakan batinnya sendiri.
Ajakan untuk Lebih Bijak
Tulisan ini bukan teguran, tetapi ajakan.
Bencana alam adalah takdir; tetapi bagaimana kita bersikap adalah pilihan.
Saat saudara-saudara kita berjuang menyelamatkan sisa hidup mereka dari lumpur dan reruntuhan, mari kita menahan diri untuk tidak menambah beban mereka dengan kata-kata yang melukai. Jika tidak dapat membantu secara fisik, bantulah dengan doa, dengan empati, dengan memberikan ruang bagi para pekerja kemanusiaan menjalankan tugasnya tanpa tekanan yang tak perlu.
Karena air bah akan surut. Lumpur akan kering. Rumah akan bisa dibangun kembali.

















