Jakarta, CITRAMEDIA – Desember kembali turun dengan lembut. Lampu-lampu mulai menggantung di sudut kota, pohon pinus berdiri di etalase toko, dan lantunan kidung Natal menggema dari gereja-gereja yang bersiap menyambut hari suci. Di tengah suasana hangat itu, masyarakat Indonesia—yang majemuk dan luas seperti bentangan nusantara—kembali berhadapan dengan satu diskursus tahunan: Bolehkah umat Islam mengucapkan selamat Natal?
Pertanyaan sederhana yang terus mengalir dari tahun ke tahun, namun jawabannya tak pernah sesederhana itu. Di banyak mimbar dan ruang maya, pendapat terbelah dua: ada yang mengharamkan, ada yang membolehkan. Dua arus kuat yang sama-sama berangkat dari keinginan menjaga kemurnian akidah.

Mereka yang Mengharamkan: Kekhawatiran Merusak Akidah
Sebagian ulama berpendapat bahwa ucapan selamat Natal dapat menyerempet wilayah keyakinan teologis, terutama jika dipahami sebagai bentuk pembenaran terhadap konsep ketuhanan yang dianut umat Kristiani.
Mereka merujuk pada firman Allah:
“Lakum dīnukum wa liya dīn.”
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
— QS. Al-Kafirun (109): 6
Ayat ini sering dipahami sebagai batas tegas antara keimanan Islam dan akidah lain. Ada pula riwayat dari Umar bin Khattab yang berhati-hati terkait menghadiri ritual ibadah agama lain, sebagai bentuk penjagaan akidah.
Bagi kelompok ini, menjaga kemurnian keyakinan adalah prioritas. Ucapan selamat Natal dikhawatirkan menimbulkan kesan membenarkan aspek teologi agama lain—hal yang tidak mereka relakan terjadi walau hanya sebatas kata-kata.
Mereka yang Membolehkan: Ruang Toleransi dan Akhlak Sosial
Di sisi lain, banyak ulama dan cendekiawan Muslim membolehkan ucapan selamat Natal, selama tidak menyentuh aspek keyakinan teologis. Mereka menekankan bahwa ucapan itu adalah bagian dari muamalah, hubungan sosial yang baik antar sesama manusia.
Mereka merujuk pada ayat:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu karena agama…”
— QS. Al-Mumtahanah (60): 8
Ayat ini menjadi fondasi bahwa kebaikan, keadilan, dan hubungan sosial yang damai dianjurkan seluas-luasnya, selama tidak bergeser kepada pembenaran aqidah lain.
Ada pula hadits Nabi SAW:
“Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, ia tidak bersyukur kepada Allah.”
— HR. Tirmidzi
Hadits ini sering menjadi landasan bahwa ungkapan kebaikan sosial, termasuk ucapan hari besar, bisa dipandang sebagai bentuk akhlak mulia.

Pada Akhirnya, Umat Islam Memiliki Ruang Pilihan
Perbedaan pendapat ini sesungguhnya merupakan bagian dari kekayaan khazanah fikih Islam. Umat dipersilakan mengikuti pendapat yang paling diyakini, tanpa harus saling mencela.
Sebab pada akhirnya, mengucapkan atau tidak mengucapkan selamat Natal bukanlah ukuran iman seseorang—yang menentukan adalah ketakwaan, kejujuran, dan akhlak.

Toleransi Bukan Sekadar Kata-kata — Ia adalah Sikap
Indonesia berdiri di atas fondasi Bhinneka Tunggal Ika: berbeda-beda tetap satu. Nilai yang telah mengikat bangsa ini jauh sebelum republik berdiri. Menjelang Natal, semestinya kita kembali merawat nilai itu.
Tidak mengucapkan selamat Natal? Silakan. Itu hak keagamaan.
Mengucapkannya sebagai bentuk hubungan sosial? Silakan. Itu juga hak keagamaan.
Yang tidak boleh adalah mengganggu saudara-saudara Kristiani saat mereka beribadah. Menghalangi, mencerca, atau merusak kerukunan adalah tindakan yang bertentangan dengan Islam — dan bertentangan dengan jati diri bangsa.
Karena Rasulullah SAW sendiri hidup berdampingan dengan berbagai pemeluk agama di Madinah. Beliau menjaga rumah ibadah mereka, melindungi komunitas mereka, dan membangun masyarakat yang harmonis.

Aqidah Tetap Kokoh, Kemanusiaan Tetap Terjaga
Menjelang Natal 2025 ini, biarlah umat Islam memilih pendapat yang diyakini benar menurut ilmunya. Tetapi sebagai manusia—dan sebagai warga bangsa—kita tetap menghormati ibadah saudara lain.
Akidah tetap kokoh.
Toleransi tetap utuh.
Dan Indonesia tetap menjadi rumah yang luas untuk semua.
Di tengah gemerlap Desember ini, barangkali pesan paling sederhana yang perlu kita jaga adalah satu: berbeda bukan berarti saling menjauh, dan keyakinan tidak mesti menghalangi kita berperilaku baik.
Karena dalam keberagaman yang terjaga, persaudaraan sesama anak bangsa menemukan makna terdalamnya.

















