BMKG selalu berbicara setiap pagi:
tentang tekanan udara, garis awan, peluang hujan,
tentang angin yang bergerak dari barat,
tentang potensi badai yang lahir di Samudera.
Tapi mereka pun tahu,
bahwa pengetahuan manusia hanya menebak,
tidak pernah mampu memastikan
kapan tanah retak,
kapan gunung runtuh,
kapan sungai naik dan berubah menjadi amukan.
Akhir November 2025—
ketika masyarakat di Sibolga sedang menjemur pakaian,
ketika warga Pariaman sedang memeriksa perahu,
ketika orang-orang di Aceh Tamiang sedang bersiap menyambut malam—
gemuruh itu datang begitu saja.
Tanpa salam, tanpa permisi, tanpa pertanda yang cukup.
Air yang seharusnya berkawan dengan bumi
tiba-tiba mengkhianati segalanya,
mengajak tanah ikut runtuh,
mengajak bebatuan meluncur tak terbendung,
mengajak pepohonan tumbang,
mengajak kengerian menari liar di sepanjang lembah.
Tidak ada ampun.
Ia menghempas rumah, peternakan, sawah,
menghapus jejak kehidupan
serupa tangan besar yang mengusap pasir basah.
Manusia pun turut digasak,
yang kuat terseret,
yang lemah tenggelam dalam teriakan yang tak sempat terdengar.

Dan seperti biasa,
simpati datang deras—
setajam hujan viral yang membanjiri dunia maya.
Doa-doa diketik seperti mantra,
video bencana di-forward berkali-kali,
dan celoteh menyalahkan pemerintah memenuhi kolom komentar,
seakan kata-kata bisa mengeringkan air
atau mengangkat tubuh yang tertimbun lumpur.
Namun di sudut kecil kota Depok,
di sebuah ruangan sederhana,
ada sekelompok anak muda
yang memilih bergerak tanpa banyak bicara.
Saat remaja seusia mereka mabuk Wi-Fi
di kafe murah meriah atau kantin kampus,
mereka justru mengemasi helm, sarung tangan,
P3K, tali carmantel, dan sisa tabungan mereka.
Tidak ada upacara pelepasan,
tidak ada tepuk tangan pejabat,
tidak ada unggahan seremonial dengan latar banner besar.

Mereka berangkat dalam diam,
menembus langit menuju Medan,
dengan tujuan utama: Sibolga—
nama yang hari itu terasa seperti peringatan dini.
Berkaca pada pengalaman mereka di bencana-bencana sebelumnya,
mereka mencoba menerobos dinding air
yang memutus daratan satu dengan lainnya.
Namun alam, ketika marah,
bukanlah lawan yang bisa ditantang dengan sekadar semangat.
Sebagian dari mereka memecah diri,
bergerak menuju Aceh Tamiang,
di mana masyarakat telah terisolasi berhari-hari,
tanpa bantuan, tanpa makanan layak, tanpa kepastian.
Di sana, mereka memanggul harapan orang-orang
yang terjebak dalam kecemasan dan gelap.
Mengevakuasi lansia, anak-anak,
dan siapa saja yang tubuhnya tak lagi mampu melawan dingin.
Mereka membawa manusia-manusia itu
ke tempat yang lebih aman,
lebih kering, lebih hangat—
meski diri mereka sendiri belum tentu aman.

Bagi mereka, masa muda bukanlah soal hura-hura.
Bukan tentang konten hiburan atau kesenangan sesaat.
Bagi mereka, masa muda adalah janji,
adalah sumpah yang tak pernah diminta siapapun,
tapi lahir dari nurani sendiri untuk negeri yang mereka cintai.
Bagi mereka, saudara bukan hanya urusan darah.
Saudara adalah iman, adalah kemanusiaan,
adalah rasa sebangsa yang tak mengenal perbedaan.
Mereka mungkin tidak hafal nomor hadis,
tidak hafal periwayat,
tapi mereka paham pesan yang pernah disampaikan
oleh teladan terbaik umat manusia:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Maka untuk kalian,
anak-anak muda yang memilih jalan sunyi ini—
selamat mengabdi.
Selamat bertugas.
Jaga diri, jaga kesehatan,
jaga nyawa kalian agar dapat menyelamatkan nyawa orang lain.
Avignam Jagad Samagram.
Semoga semesta selalu melindungi langkah kalian.

















